Apakah cinta masih menggelegar? Cerpen Hief Antariksa Malam pekat itu kaubilang, terimakasih atas segalanya. Aku tak tahu untuk apa ucapan itu. Untuk sebuah rasa di beranda hati yang kau anggap berdosa? Ah, kau perempuanku yang menakjubkan. Ya, kaumenjelma zulaikha, dan aku yusuf, meski mungkin yang terjadi adalah sebaliknya. Atau, akulah ular penggoda yang telah melengserkan adam dan hawa dari singgasana surganya. Meruntuhkan engkau dari bangunan teori-teori dan prinsip yang entah kenapa tidak semuanya bisa kuhafal. Mungkin karena aku tidak pernah sekolah, atau terlalu bodoh. Apakah semua kisah akan selesai hanya dengan sebuah kecupan di malam pekat, ketika waktu seakan tak berjarak, dan ruang menjadi hinggap pada detik-detik yang tak lagi pasti? >>> “Cinta adalah pengabdian,” ujarmu satu hari. Dan aku hanya tertawa-tawa mendengarnya. “Ah, kau seorang penyair,” jawabku. “Iya mas, kaubuat aku mengabdikan diri pada cinta ini. Tahu nggak, aku kehabisan energi untuk melakukannya?” “Mengapa semuanya menjadi sulit?” “Entahlah. Aku cemburu padamu yang bisa memaknai cinta—dan pasti juga kebencian—sebagai sesuatu yang remeh temeh,” ujarmu, seperti menyesal, seperti hendak pergi namun tak kuasa. Ah, mungkin juga tebakanku salah. “Ya sudah, apapun itu, aku sayang kamu. Kaulihat kunang-kunang di tepian pucuk cemara itu?” Engkau mendongak. Mencari-cari, lalu tersenyum oleh sebuah kenangan. “Bukan, itu pinus. Dan pinus adalah penanda usia kita, yang hidup dua ratus juta tahun untuk menemani cinta yang membuat kita abadi.” “Hahaha, kau ternyata masih ingat. Seperti sebuah film ya?” <<< Aku musti melarikan diri. Bukan dari engkau, tapi hari-hari yang kulalui terasa semakin berat di dekatmu. Ya, sebab hidup bukan hanya impian-impian di taman inderaloka, tapi juga adalah realitas. Yang menusuk-nusuk. Seperti ketika orang-orang, keluarga dan entah siapa lagi menanyaimu, pacarmu itu pengangguran ya? Lalu, (akutak tahu pasti, tapi kubayangan) engkau dengan jengah menjawabi semua, “Nggak kok, ia seorang pelukis.” Tapi jawabmu gamang. Dan jika demikian, engkau tidak salah suatu apa. Mungkin aku adalah orang yang muncul pada ruang dan waktu yang alpa. Seperti sebuah garis tebal yang nemplok di lukisan monalisa. Dan maafkan aku kasihku, jikalau aku bagai lupa hitungan waktu. Suratmu yang datang setiap minggu, menumpuk dalam kardus berdebu. Aku tak kuasa membuka satupun di antaranya, tak sanggup menanggungkan kerinduanmu. Dan tahukah jika bermalam-malam di sini menggedorku dengan kenangan akan hari-hari bersamamu, hari-hari sepasang merpati dengan cinta yang membara-bara, dan maafkan kasihku, birahi, dengan cumbuan-cumbuan, bibirmu yang manis. Ah, kutanggungkan semua dosa ini. Cengeng ya? I wanna be tough enough, seperti selalu kukatakan, tapi maafmu? >>> Dan kau menjawab permohonan maafku dengan ucapan terimakasih yang menyayat. “Mas, kautelah memporak porandakan hatiku hingga hancur lebur bagai reruntuhan perbukitan yang disapu kilatan petir menyambar-nyambar membelah angkasa. Tapi aku sangat menghargai apa yang kaulakukan,” ujarmu di malam pekat itu. “Mengapa?” “Diamlah, jangan kau ucap apapun jua, karena itu hanya akan membuatku terpaksa menitikkan air mata penahan pilu. Membangkitkan dendam-dendam kerdil yang siap melonjak-lonjak sesukanya.” Aku kebingungan dengan semua ini. Mengapakah engkau tak menangis saja, biar airmata itu meruntuhkan seluruh bebanmu, dan aku bisa menyalahkan diri sendiri dengan lega? Atau, tolong katakan mesti dengan apa aku menghukum diri? Aku masih bertanya-tanya. Dan kertap hujan semakin berisik di ujung jalan. Pelahan bayangmu menghilang, dan kurasa percakapan-percakapan itu hanya imajinasi murahanku saja. Kau pasti tidak akan berkata-kata demikian. Atau, aku memang tak berani untuk mendengar suaramu, meski dalam hujan yang suwung ini, bau tubuhmu pun begitu kurindui? Rinduku beku, seperti juga ricik air di talang. Aku menyepi, melarikan diri dari engkau, cintaku, meski kutahu semua ini akan lebih sakit. Tapi biarlah waktu yang menjawabnya. Tapi, benarkah engkau yang berkata “terimakasih untuk segalanya” di malam yang semakin pekat ini, meski tercampuri segala gelora kepedihan? Yogyakarta, Monday, May 27, 2002, 8:49 AM